MEDAN - ARH didampingi kuasa hukumnya mendatangi Bidang Propam Polda Sumatera Utara untuk melaporkan Kanit Pidum Polrestabes Medan.
Kedatangan ARH terkait penetapan tersangka dirinya di Polrestabes Medan terkait jual beli tanah yang dianggapnya tidak pernah melakukan hal yang dimaksud.
"Kita melaporkan ketidakprofesionalan pihak kepolisian untuk melakukan penetapan proses tersangka. Disini kita melaporkan AKP Wisnugraha Paramaartha, STK, SIK, " Ungkap Henry Rianto dari Kantor Advokat Henry Pakpahan dkk, Selasa (8/8/2023) pukul 14:54 Wib.
Henry mengaku alasan dirinya dan kliennya buat laporan di Bid Propam karena sesuai Peraturan Kapolri tentang restoratif justice.
"Kita selaku kuasa, tidak adanya dilakukan restoratif justice dilakukan oleh Polrestabes Medan untuk mendamaikan. Kedua, tidak adanya dilakukan konfrontir antara pelapor, terlapor dan saksi, " ucap Henry dengan menyampaikan bahwa restoratif justice adalah program Kapolri.
Lebih lanjut, Henry menjelaskan awal mula kejadian sampai kliennya ditetapkan sebagai tersangka.
"Ini pelapor Saptaji (mantan PLT Kades Sampali), yang dilaporkan adalah Prof Pagar. Dan klien kita disini hanya penghubung, gak ada kaitannya dengan tanda tangan pemalsuan surat, " sambungnya.
Terkait dengan beberapa media menyebutkan bahwa ARH adalah mafia tanah, kuasa hukum ARH membantah hal itu.
Baca juga:
Anies Baswedan di Mata Seorang Surya Tjandra
|
"Ini luas tanah lebih kurang 640 meter persegi. Dan klien kita tidak merasa memalsukan tanda tangan, dirinya hanya untuk menghubungkan antara pemilik tanah dan pembeli, " Ungkap Henry.
Ditempat yang sama, Syaifullah SH menambahkan bahwa pelapor yang membuat pelaporan di Polrestabes Medan sudah tidak tinggal di Sumut.
"Pelapor saat ini kondisinya tidak berada ditempat atau tidak di Sumatera Utara lagi, itu info yang kita dapat. Sehingga dalam hal ini kita meminta kepada pihak penyidik, khususnya Polrestabes Medan yang menangani perkara ini mohon kiranya memanggil pelapor maupun pemilik tanah. Apakah wajar tanah eks PTPN itu dijual belikan, " ungkap Syaiful menambahkan.
Syaiful juga menyampaikan bahwa kuasa hukum merasa keberatan terkait proses penyidikan yang dilakukan oleh pihak Polrestabes Medan.
"Mulai administrasinya, pemanggilan, penetapan tersangka, upaya yang dilakukan penyidik dalam hal mediasi atau restoratif justice, mengkonfrontir dalam perkara ini, " tegasnya.
"Klien kita sore itu pada tanggal 29 langsung ditangkap dan diperiksa sebagai tersangka. Kita pertanyakan kenapa dalam hal tanah eks HGU ini, penjual itu diperiksa sebagai saksi, seharusnya kan lebih didalami. Kenapa penjual ini bisa menjual tanah yang kita duga eks HGU PTP ll yang letaknya di Desa Sampali, " cetus pria yang biasa disapa Saiful.
"Menurut keterangan informasi klien kita, dia hanya sebagai penghubung, siapa pelaku dan siapa pembuat. Bahwasannya klien kita tidak pernah terlibat untuk melakukan pemalsuan ataupun pembuatan. Artinya dia hanya penghubung menerima dan memberikan surat tersebut, " Ungkapnya.
"Kalau dibilang mafia tanah itu adalah hal yang berlebihan. Kenapa, yang dibuat didalam surat tersebut luasnya hanya satu rante setengah atau lebih kurang 640 meter persegi. Artinya itu hanya satu tapak rumah, apakah wajar seorang yang membeli tanah satu tapak rumah disebut mafia tanah?, " Tanya Saiful.
Saiful juga berharap penyidik lebih profesional memeriksa dan menetapkan seseorang sebagai tersangka dan lebih mengedepankan restoratif justice.
"Karena setiap laporan itu kan, menurut perkap diupayakan RJ dulu, karena ini delik aduan, " Pintanya.
Diakhir pernyataan, Saiful menduga adanya kejanggalan - kejanggalan yang dilihat dari proses hukum kliennya.
"Kejadian itu tahun 2019, dilaporkan tahun 2022, disinilah ada kejanggalan - kejanggalan menurut kami, " Sebut Saiful dengan nada heran.
Saiful berharap kepada pihak pelapor, dalam hal ini Saptaji untuk memberikan klarifikasi yang sebenarnya, agar permasalahan yang menimpa kliennya mendapat titik terang.
"Untuk pelapor atas nama Saptaji mohon hadirlah ke Polrestabes Medan untuk menyelesaikan dan memberikan klarifikasi terhadap permasalahan tanah yang dijual belikan oleh Prof P, sehingga masalah ini menjadi terang dan tidak ada sebutan dalam perkara ini 'mafia tanah'. Terlalu berlebihan kalau perkara ini disebut mafia tanah, " tutupnya.
Kasat Reskrim Polrestabes Medan, Kompol Teuku Fathir kepada awak media menjelaskan penangkapan ARH atas laporan warga yang mengadukan dugaan pemalsuan surat tanah.
"Awalnya ada warga membuat laporan soal dugaan pemalsuan surat tanah eks PTPN II di daerah Desa Sampali, " Jelasnya.
Fathir juga menjelaskan bahwa berkas perkara itu sudah dikirim ke Kejari dan sedang menunggu prosesnya. Ketika berkas itu dinyatakan lengkap, pihaknya akan menyerahkan ARH kepada jaksa.
"Kalau wajib lapornya tidak dilaksanakan dan tidak kooperatif, ya kami tangkap lagi, " Terangnya.